Pada hari Sabtu18 Januari, sekelompok pejuang bersenjata berat menyerbu sebuah pangkalan angkatan udara di luar kota Sabha di selatanLibya,mengusir pasukan “pemerintah” Perdana Menteri Ali Zeidan, dan menduduki pangkalan Udara tersebut. Pada saat yang sama, laporan dari dalam negeri mulai berdatangan bahwa bendera hijau Jamahiriya, dari gerakan Sosialis Arab Libya berkibar di atas sejumlah kota di seluruh negeri. Meskipun adanya kelangkaan informasi, diverifikasi oleh pemerintah di Tripoli dengan samar-samar hal itu hanya bukti yang menguatkan satu hal yang pasti, bahwa: “Perang Libya terus berlanjut.”
Kondisi Lapangan
Perdana Menteri Libya Ali Zeidan menyerukan sidang darurat Kongres Nasional Umum untuk menyatakan keadaan siaga bagi negara setelah berita penyerbuan pangkalan udara. Munculnya pasukan perlawanan Hijau (Green Resistance) di wilayah Sabha dan tempat lain hanyalah salah satu bagian dari kalkulus politik dan militer yang lebih besar dan lebih kompleks di wilayahSelatan, di mana perlawanan sejumlah suku dan berbagai kelompok etnis telah meningkat terhadap apa yang mereka rasakan sebagai marginalisasi politik, ekonomi, dan sosial.
Kelompok-kelompok seperti etnis minoritas Tawergha and Tobou, keduanya merupakan kelompok Afrika hitam, telah mengalami serangan ganas di tangan milisi Arab tanpa adanya pembelaan dari pemerintah pusat. Tidak hanya itu,kelompok lain juga telah menjadi korban pembersihan etnis, tapi mereka justrutelah secara sistematis dihalangi dan dipinggirkan dari partisipasi dalam kehidupan politik dan ekonomi Libya.
Ketegangan memuncak awal bulan ini ketika seorang kepala suku Arab dariAwled Sleiman tewas. Daripada melakukan penyelidikan resmi atau proses hukum, suku Awled menyerang tetangga mereka Toubou hitam, menuduh mereka terlibat dalam pembunuhan itu. Bentrokan yang dihasilkan sejak menewaskan puluhan orang, sekali lagi menunjukkan bahwa kelompok-kelompok Arab yang dominan masih melihat tetangga berkulit hitam mereka sebagai sesuatu selain sebangsa.
Tidak diragukan lagi, ini telah menyebabkan pertumbuhan aliansi perlawanandi wilayah tersebut, dengan Toubou, Tuareg dan kelompok minoritas kulit hitam lainnya yang mendiami bagian selatan Libya, Chad utara dan Niger bergerak lebih dekat ke pasukan pro-Gaddafi (Green Resistance).
Terkait aliansi ini, kenyataannya adalah bahwa banyak kelompok di Libya telah menyadari realitas bahwa pemerintahan Libya saat ini di-instal oleh NATO (Negara boneka) dan atas apa yang mereka alami saat ini, adalah sesuatu yang mereka harus melakukan sesuatu atasnya (perlawanan).
Politik Ras (racialism) di Libya
Meskipun terus digembar-gemborkan retorika tentang “Demokrasi” dan “Kebebasan” di Libya, kenyataannya adalah jauh dari itu, terutama untuk warga berkulit gelap Libya yang telah melihat status sosial ekonomi dan politik mereka berkurang dengan berakhirnya pemerintahan Jamahiriya MuammarGaddafi. Sementara mereka sebelumnya menikmati kesetaraan politik dan perlindungan di bawah hukum di era Gaddafi, era pasca Gaddafi hak-hak mereka semua malah dilucuti. Daripada terintegrasi ke dalam sebuah negara demokrasi baru, kelompok hitam Libyajustru telah dikeluarkan dan dimarginalisasikan secara sistematis.
Pada kenyataannya, bahkan Human Rights Watch – sebuah organisasi yang dalam ukuran kecil membantu untuk membenarkan perang NATO dengan “mempropagandakan” bahwa pasukan Gaddafi menggunakan pemerkosaan sebagai senjata – telah melaporkan bahwa tanpa Ghadafi, “Kejahatan terhadap kemanusiaan justru meningkat, milisi yang terutama dari Misrata mencegah 40.000 orang dari kota Tawergha untuk kembali ke rumah mereka,dari tempat mereka telah diusir pada tahun 2011.”
Fakta ini, ditambah dengan kesaksian mengerikan dan gambar penggantungan, perkosaan, dan kejahatan lain terhadap kemanusiaan, melukiskan gambaran yang sangat suram kehidupan di Libya untuk kelompok-kelompok ini.
Pada tahun 2011, laporan Amnesty International mendokumentasikan sejumlah kejahatan perang mencolok yang dilakukan oleh apa yang disebut “pejuang kemerdekaan (anti Ghadafi)“, meskipun disanjung-sanjungoleh media Barat sebagai “pembebas” (freedom fighters), menggunakan kesempatan perang untuk melaksanakan eksekusi massal terhadap kulit hitam Libya serta klan saingan dan kelompok etnis lain. Hal ini tentu saja kontras dengan nasib Kulit Hitam Libya di bawah pemerintahan Jamahiriya Gaddafi yang dipuji atas dan ke bawah oleh Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2011, dimana laporan mereka mencatat bahwa Gaddafi telah berusaha keras untuk memastikan ekonomi dan pembangunan sosial, serta secara khusus memberikan kesempatan ekonomi dan perlindungan politik untuk Kulit Hitam Libya dan pekerja migran dari negara-negara tetanggaAfrika.
Seorang pejuang pro-Gaddafi dari Tuareg, pada September tahun 2011 pernah mengatakan, “Kami berjuang untuk Gaddafi adalah seperti anak berjuang untuk ayahnya … [Kami akan] siap bertarung untuk dia sampai tetes darah terakhir.” Suku Toubou dan kelompok etnis kulit hitam lainnya kemudianbentrok dengan milisi Arab dukungan NATO.
Selain itu, fakta bahwa mereka harus terlibat dalam bentuk perjuangan bersenjata lain, menggambarkan bahwa banyak pengamat internasional yang sengaja disiapkan dari awal perang untuk propaganda, karena: “Agresi NATO tidak pernah bertujuan untuk melindungi warga sipil atau hak asasi manusia, melainkan untuk merampas kekayaan Libya dan karena kepentingangeopolitik.” Bahwa mayoritas penduduk, termasuk etnis minoritas, kondisinya saat ini jauh lebih buruk dari era mereka berada di bawah pemerintahanGaddafi, adalah fakta yang terus coba disembunyikan oleh Blok Barat.
Hitam, Hijau, dan Perjuangan untuk Libya
Adalah terlalu dini untuk menganggap bahwa kemenangan militer yang dibuat oleh perlawanan rakyat Libya dibawah bendera Green Resistance (pro-Gaddafi) dalam beberapa hari terakhir akan tahan lama, atau bahwa mereka mewakili pergeseran ireversibel dalam lanskap politik dan militer negara itu.
Meskipun jelas tidak stabil, pemerintahan boneka neo-kolonial di Tripoli mendapat dukungan ekonomi dan militer dari beberapa kepentingan yang paling kuat di dunia (AS, Inggris, Prancis, NATO, Uni-Eropa, Liga Arab, dll), sehingga sulit untuk hanya menggulingkan pemerintahan boneka tersebutdengan hanya kemenangan kecil . Namun, perkembangan ini menggambarkansinyal pergeseran dalam kalkulus di lapangan.
Tidak diragukan lagi ada pertemuan antara etnis minoritas hitam dengan Green Resistance karena keduanya memiliki musuh yang sama, yakni milisi yang berpartisipasi dalam penggulingan Gaddafi serta pemerintah pusat di Tripoli dukungan Negara-negara Kuat Dunia. Apakah aliansi ini akan berkembang? , itu akan menjadi momen dalam perang Libya.
Sebagaimana Green Resistance telah menunjukkan di Sabha, mereka mampu mengorganisir diri di bagian selatan negara di mana mereka mendapatkandukungan rakyat, satu bisa dibayangkan adalah sebuah aliansi di wilayahselatan Libya yang akan mampu mempertahankan wilayah dan mungkin mengkonsolidasikan kekuatan dan control atas seluruh bagian selatan Liby , menciptakan negara merdeka de facto.
Tentu saja, NATO, AS, Inggris, Prancis, dan Negara-negara sekutnya akan mempropagandakan bahwa perlawanan rakyat ini sebagai gerakan sparatisanti demokrasi dan kontra-revolusi. Ini akan dimengerti karena tujuan mereka atas Libya adalah penguasaanatas sumber daya alamnya.
Satu harus berhati-hati untuk tidak membuat terlalu banyak asumsi tentang situasi di Libya saat ini, rincian masih sulit didapat. Lebih penting lagi, media Barat telah berusaha untuk sepenuhnya menekan fakta adanya perlawanan Green Resistancedan rakyat Libya, terlebih perlawanan rakyat ini aktif danberhasil memperoleh kemenangan.
Semua ini hanya menggambarkan lebih jauh bahwa perang Libya kembali berkecamuk, terlepas dari apakah dunia ingin mengakuinya atau tidak.
Demikian untuk dipahami, mengapa Blok Barat dan aliansinya, juga partisipan media dan simpatisannya, tentu akan menekan dan menghalangi pemberitaan dari realitas di Libya ini.
(sumber : VOICE OF RUSSIA (VOR) INDONESIA)