Sudah bukan rahasia bahwa perang Suriah berubah menjadi konflik sektarian yang menarik ekstrimis dari seluruh dunia, dan telah membuat wilayah perbatasan sebagai lahan subur bagi perkembangan ekstrimis dan militan, terutama cabang al-Qaeda.
Kebijakan luar negeri suatu negara dapat menjadi pedang bermata dua. Untuk Turki, kebijakan membuka wilayahnya sebagai zona transit untuk memasuki wilayah Suriah bagi militan menyebabkan hasil yang kontra-produktif, dan bertentangan dengan apa yang Erdogan harapkan.
Ankara menutup mata untuk lebih dari satu tahun pada masuknya ribuan milisi asing ke wilayahnya, yang melintasi negara itu dalam perjalanan mereka untuk bergabung dengan pemberontakan di Suriah, dengan keyakinan Turki bahwa semakin banyak militan yang datang membantu maka akan makin mempercepat jatuhnya Pemerintahan Suriah.
Tetapi kemudian Al-Qaeda justru mendominasi wilayah utara dan menimbulkan kekhawatiran atas kemungkinan serangan lintas batas. Erdogan menuai apa yang tidak ia harapkan, dan mendapati bahwa kebijakannya membuahkan hasil yang berlawanan dan mengancam kepentingannya.
Menurut surat kabar "Washington Post", Presiden Bashar al-Assad akan tetap berkuasa di Suriah, terutama setelah menjadi jelas bahwa Amerika Serikat tidak akan melakukan intervensi militer di Suriah, dan meninggalkan Erdogan sendirian untuk menghadapi konsekuensi yang menyakitkan dari resiko politik.
Seorang pejabat Turki, yang menolak untuk mengungkapkan identitasnya, mengatakan kepada surat kabar bahwa "ini bukan hasil yang diinginkan Turki."
Dia menambahkan: "Sekarang saya pikir akhirnya semua orang menyadari keseriusan kelompok-kelompok ekstrimis ini. Anda tidak bisa bekerja-sama dengan mereka, bahkan tidak bisa mengandalkan mereka (Al-Qaeda) untuk menggulingkan Pemerintah Suriah." (Sumber: Partiya Yekitiya Demokrat-PYD)
(densus 99 on Harian Militer dan Konflik Bersenjata)