Serangkaian pencurian dan perampokan baru-baru ini untuk mendanai terorisme telah menyoroti hubungan jahat antara ekstrimisme kekerasan dan kejahatan. Pada bulan Mei, pasukan kontraterorisme Indonesia membubarkan sebuah sel yang dipimpin oleh Abu Roban, yang dibunuh pada saat penggerebekan.
Kelompok ini terkait dengan Santoso, pemimpin Mujahid Islam di Indonesia Timur, dan mengandalkan fa'i - uang curian - untuk membiayai kegiatan mereka di Poso, demikian menurut juru bicara Polisi Nasional, Boy Rafli Amar.
Menurut Boy, Abu Roban memperoleh miliaran rupiah dari hasil perampokan, termasuk Rp 500 juta ($51.200) dari Bank BRI di Grobogan, Jawa Tengah, Rp 500 juta dari Bank BRI di Batang, Jawa Tengah, dan Rp 450 juta ($46.000) dari Bank BRI Lampung.
Polisi menyita 4kg emas dan uang tunai Rp 30 juta ($3.100) ketika mereka menggerebeg tempat persembunyiannya di Batang, Jawa Tengah.
"Polisi masih harus melacak uang dari perampokan. Mereka juga masih berusaha mengidentifikasi pelaku perampokan itu dan bagaimana mereka menyalurkan uang dari perampokan ke kelompok mereka," katanya.
Kejahatan atas nama jihad
Para teroris percaya bahwa mencuri uang merupakan bagian dari jihad, menurut para analis.
"Uang hasil perampokan sebagian besar digunakan untuk membiayai operasi kelompok teroris, termasuk untuk membeli senjata, bahan kimia untuk perakitan bom, membangun kamp baru, dan biaya operasional pelatihan mereka," Noor Huda Ismail, pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, berkata kepada Khabar Asia Tenggara. "Mereka menghargai pencurian dan perampokan sebagai perang bagi Allah."
"Keterlibatan teroris di banyak kejahatan untuk jihad bukanlah kejahatan menurut mereka. Tetapi itu bukan apa yang diajarkan agama kami," kata Subekti, seorang imam di Bandung, Jawa Barat. "Islam tidak pernah memperbolehkan siapa pun untuk melakukan jihad, sementara pada saat yang sama menyakiti orang lain."
Menurut para ulama, ini adalah kesalahan besar.
Kelompok-kelompok teroris ini menyesatkan orang lain dan salah menafsirkan Islam, menurut pemimpin Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin kepada para wartawan pada tanggal 10 Mei. "Tindakan mereka tidak bisa dibenarkan dalam Islam," katanya.
MUI menentang setiap aksi terorisme, dan kekerasan demi jihad yang mencelakakan masyarakat dan komunitas, katanya.
"Mereka memiliki pemahaman yang salah akan ajaran Islam. Oleh karena itu kami, para ulama Islam dan para pemimpin agama, akan terus berusaha sehingga semua umat Islam Indonesia akan memahami perbedaannya," kata Ma'ruf kepada Khabar.
Metode lama, kelompok yang berbeda
Sebelumnya, para teroris mengandalkan fa'i. Pemboman Natal tahun 2000, dan Bom Bali tahun 2002 dan 2005, semua dibiayai oleh perampokan, kata analis intelijen Dino Crisbon.
"Pemboman Bali dibiayai oleh uang curian Rp 400 juta ($40.900) dari toko-toko emas di Serang, Banten pada tahun 2002 oleh Abdul Rauf, Andri Octavia, dan Imam Samudra," katanya kepada wartawan.
Serangan Bali kedua melibatkan Rp 80 juta ($8.170) dari perampokan yang dilakukan di sebuah toko telepon selular di Pekalongan, Jawa Tengah pada bulan September 2005 oleh Subur Sugiarto, Ubeid, dan Ali Zein.
"Mereka melakukan aksi perampokan acak, terutama di kota-kota kecil. Mereka mungkin berpikir tempat-tempat seperti itu memiliki keamanan yang lebih lemah," kata Wiwit Wicaksono, warga Tangerang, Jawa Barat. Dia mendesak polisi untuk meningkatkan kewaspadaan, dan anggota masyarakat untuk terlibat.
Wiwit mengatakan bahwa kaum muda harus fokus pada ajaran Islam yang benar, toleransi, dan keamanan masyarakat. (sumber: http://khabarsoutheastasia.com)